"Roma tidak dibangun dalam sehari. Langkah besar selalu diawali dengan tapak langkah kecil. Sebuah pemikiran dan cita-cita agung, kadang berasal dari sebuah kata atau impian sederhana. Kadang pula sebuah catatan, memiliki nilai berharga ketimbang monumen atau istana, dan setiap orang mampu untuk menciptakannya."

Jumat, 26 Februari 2010

AGENTS OF CHANGE

Sudah semestinya kalau tingkat pendidikan berbanding lurus dengan tingkat budaya. Artinya semakin tinggi pengetahuan maka kearifan budaya sebagai moralitas turut berkembang. Keduanya menjadi dasar terbentuknya peradaban akan perbaikan hidup manusia. Baik manusia sebagai sosok individu (pribadi), maupun manusia secara keseluruhan sebagai komunitas masyarakat/bangsa. Mengapa pendidikan memiliki ikatan dengan budaya? Jawabnya, karena ilmu pengetahuan dapat mengubah cara hidup dan cara pandang manusia. Selain itu, dengan ilmu pengetahuan, maka manusia dapat mempelajari banyak hal, mulai dari fisik/materi/kebendaan, sampai kepada hal yang berhubungan dengan sosial, etika, bahkan metafisika/ketuhanan.

Sepertinya pendidikan/ilmu pengetahuan pun merupakan landasan bagi munculnya budaya dan peradaban. Bukankah Muhammad menerima wahyu pertama dengan perintah “membaca”/Iqra’ dan muncul kemudian budaya baru dalam masyarakat Arab akan penghapusan praktek perbudakan. Bukankah zaman Renaisance dan Aufklarung menjadi tanda berakhirnya zaman kegelapan/dark age di Eropa, saat rakyat dan para cendekiawan menuntut budaya baru akan kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan (liberte,egalite,fraternite/Revolusi Perancis). Bukankah proses kemerdekaan Indonesia pun lahir melalui perjalanan panjang dengan munculnya kalangan terdidik sebagai agen perubahan/agents of change. Sebut saja diantaranya seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Ir. Soekarno, Mr. Moh. Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Natsir, Wahid Hasjim, dsb, yang saat itu berjuang mewujudkan perbaikan nasib rakyat untuk lepas dari belenggu penjajahan. Mereka menginginkan lahir budaya baru untuk lepas dari bentuk kesewenang-wenangan, lepas dari stigma pribumi sebagai warga kelas ketiga dibawah golongan timur asing dan kulit putih/indo. Mereka telah mendobrak pola-pola lama, pola patron-klien, pola kawula-gusti, pola pribumi-indo yang telah membuat rakyat sengsara dan tenggelam dalam praktek penjajahan.

Sebegitu penting dan eratnya kaitan antara pendidikan dan perubahan budaya, maka tidak mengherankan jika seorang tokoh cendekia seperti Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa-nya mengajarkan budipekerti yang berbunyi, Ing Ngarso Sung Tulodo/di depan memberi teladan, Ing Madya Mangun Karso/di tengah membangun motivasi, Tut Wuri Handayani/di belakang memberikan dukungan. Hal ini menjadi bukti kalau pendidikan menjadi trigger(pemicu) bagi kesadaran mencapai pribadi yang beradab dan berbudaya. Pendidikan dapat mengubah pola budaya feodalistik, menjadi budaya profesionalistik. Sikap, perilaku, juga cara pandang, mengenai posisi juragan dan kacung (jongos) misalnya, dapat ditiadakan dalam budaya profesionalistik, diganti dengan budaya tanggungjawab karya/profesi.

Namun sangat disayangkan jika pada masa sekarang masih banyak orang berpendidikan tinggi, namun belum mampu meninggalkan budaya lama, budaya feodalistik. Perilaku dan budaya feodalistik masih saja begitu kental terasa di masyarakat, terutama dalam lingkungan birokrasi. Ambil contoh, perilaku ABS (asal bapak senang), perilaku upeti/uang pelicin, perilaku suap, perilaku tebang pilih, dsb. Bahkan banyak pejabat birokrat menyalahgunakan wewenang hanya untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Padahal boleh dibilang pejabat birokrat memiliki titel pendidikan yang tertera dibelakang namanya. Sehingga kurang tepat rasanya apabila dikatakan pendidikan mereka kurang memadai. Pengaruh jabatan seringkali mengaburkan kesadaran akan budaya profesionalistik yang seharusnya menjadi pakaian para birokrat.

Perubahan budaya baru itu memang membutuhkan waktu, secara perlahan, secara struktural. Tidak bisa hanya mengandalkan satu atau dua orang, namun setiap orang terutama yg terdidik punya tanggung jawab mewujudkan lingkungannya beradab dan berbudaya, atau setidaknya setiap pribadi terdidik menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Mereka bisa menjadi teladan saat di depan, bisa menjadi pemberi motivasi saat di tengah, atau dapat memberi dorongan saat berdiri di belakang.

(270210)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

para komentator dipersilakan masuk dan jangan lupa sertakan nama anda dibawah tulisan komen anda setelah selesai.makasi sebelumnya.

berikan komentar untuk tulisan di atas, klik icon 'komentar kamu' dan beri 'nilai.'


Kutipan para eksistensialis

  • “The Ego is partly free. partly determined, and reaches fuller freedom by approaching the Individual who is most free: God.” (Muhammad Iqbal)
  • “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Jean-Paul Sartre)
  • “Except our own thoughts, there is nothing absolutely in our power.” (Rene Descartes)
  • “Life has its own hidden forces which you can only discover by living.” (Soren Kierkegaard)
  • “Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.” (Sigmund Freud)