"Roma tidak dibangun dalam sehari. Langkah besar selalu diawali dengan tapak langkah kecil. Sebuah pemikiran dan cita-cita agung, kadang berasal dari sebuah kata atau impian sederhana. Kadang pula sebuah catatan, memiliki nilai berharga ketimbang monumen atau istana, dan setiap orang mampu untuk menciptakannya."

Minggu, 15 Agustus 2010

NEGERI IRONI

Apakah masih tersisa harapan bagi negeri ironi seperti ini? Seakan mengurai benang kusut tanpa tahu ujung pangkalnya, atau seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bangsa besar diatas luas hamparan tanah kepulauan, berlimpahan kekayaan alam di permukaan hingga dasar bumi. Namun mengingkari cita-cita agung sebagaimana tertulis di alinea keempat pembukaan konstitusi. Melindungi segenap bangsa dan tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Karut marut selalu saja membayangi perjalanan republik gemah ripah loh jinawi, menjadi tabir bagi kontribusi putra putri bangsa. Mereka seharusnya memiliki integritas untuk memelihara kemerdekaan. Tetapi semua asyik tenggelam dalam kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan. Padahal itu semua sekedar sarana untuk didedikasikan bagi kemakmuran rakyat.


Bangsa ini terombang-ambing diatas gelombang zaman. Sentimen primordial muncul dalam bentuk konflik laten keagamaan. Lemah sudah kesadaran akan kebinekaan. Pluralitas harusnya menjadi modal kemajuan, namun dari situ konflik muncul melalui kauvinis-kauvinis lokal antar agama, antar organisasi, dan kelompok sosial. Kebenaran ditafsirkan masing-masing tanpa memperhatikan lagi nilai moral dan toleransi. Pertikaian dan perselisihan dipertontonkan. Ditambah lagi dengan kesenjangan ekonomi yang tak kunjung reda. Mulai dari sudut kota hingga pelosok desa, kemiskinan terus merayap di bawah kaki-kaki kapitalis yang manja dipelihara elit penguasa. Mereka pun setengah hati mengharamkan korupsi, tebang pilih menyeret koruptor kakap masuk penjara. Padahal pelaku korup itu lebih baik dikebumikan saja. Sementara falsafah negeri pun sedemikian tereliminasi. Lima sila sebagai pilar tidak lagi mewarnai langkah anak bangsa. Ketuhanan, tetapi agama diperjualbelikan, agama menjadi alat legitimasi anarki, bahkan mengancam eksistensi agama lain. Kemanusiaan, namun toleransi luntur digerus kepentingan kelompok, muncul arogansi birokrasi, kepercayaan masyarakat sirna pada aparatur negeri. Persatuan perlahan terkoyak individualitas, begitu menyedihkan. Kerakyatan, hanya sekedar janji-janji kampanye politik. Sementara keadilan sosial, sebatas milik segelintir orang.


Bukankah bangsa ini lahir dari beragam peradaban, bangsa ini lahir dari bermacam bentuk penjajahan, dan bangsa ini pernah memiliki putra-putri terbaik yang telah membawa negeri ini kedepan pintu gerbang kemerdekaan. Bangsa ini membutuhkan penguasa yang memiliki ketegasan untuk mengangkat kembali harga diri. Bangsa ini membutuhkan elit penguasa yang sanggup memanusiakan manusia. Ketika petani mudah memperoleh pupuk dan menjual gabah dengan harga memadai, ketika nelayan mudah memperoleh sarana mencari ikan, ketika pengusaha kecil mudah melakukan pinjaman modal, ketika prasarana sekolah menjadi layak bagi siswa-siswi, ketika pedagang tenang berjualan tanpa pungli, ketika ibu rumah tangga mudah dan murah membeli sembako, ketika pekerja pabrik layak terpenuhi upahnya, ketika tenaga kerja di luar negeri terlindungi hak dan keselamatannya, ketika rumah sakit tidak bersikap diskriminasi, ketika istana penguasa tidak angkuh dan antikritik, ketika gedung perwakilan ramah membuka tangan menerima aspirasi. Hal ini adalah tanggung jawab elit penguasa, harus diwujudkan secara utuh, tidak parsial, apalagi mengandalkan satu sama lain. Ini kerja bersama, bukankah slogan itu bunyinya ‘bersama kita bisa.’ Bukan dengan janji, bukan dengan lips-service atau politik pencitraan, bukan dengan seminar, lokakarya, atau wacana di media massa, namun sebuah ketegasan dan totalitas dari tindakan nyata.


Bukankah sejarah telah mencatat salah satu dari putra bangsa terbaik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Ia bernama Soekarno. Presiden pertama republik ini, tidak hanya memiliki karisma bagi para pendukungnya, namun disegani di Asia bahkan sampai ke dunia barat. Dalam salah satu pidatonya, ia mampu menjaga martabat bangsa, ia mengatakan ‘go hell with your aid’ kepada barat, ia lebih memilih untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Ia juga pernah menyatakan keluar dari PBB, karena Malaysia dianggap boneka barat terpilih sebagai anggota dewan keamanan PBB. Ia pernah memberikan tanah bagi rakyat melalui ‘land reform’, ia juga melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, ia juga melakukan intervensi perusahaan yang menyangkut hajat hidup rakyat supaya dikelola pemerintah. Vivere pericoloso, hidup menyerepet bahaya, memang tindakan berani yang pernah dilakukan putra bangsa ini. Meski tidak sedikit program mengalami kegagalan, karena saat itu situasi negeri banyak pemberontakan, setidaknya presiden pertama ini telah menunjukan sikapnya sebagai seorang pemimpin besar. Maka adakah sikap keberanian dan keberpihakan pada rakyat dimiliki para elit penguasa di masa ini?


Negeri ini penuh dengan ironi. Republik pesakitan jadi bulan-bulanan kelinci percobaan kekuatan asing. Begitu lugunya di iming-iming program bantuan yang realitanya adalah hutang. Ketergantungan dengan dunia barat, sehingga mudah ditakut-takuti perginya investasi. Belum lagi perihal nilai dasar komunal, etika hidup ketimuran juga dihajar habis-habisan. Negeri ini telah kehilangan jati dirinya, jati diri merah putih. Merah putih sebagai panji yang harusnya selalu berkibar hati putra putri pertiwi. Merah ibarat darah yg mengalir sebagai tanda ikatan, sebagai bentuk ketegasan dan keberanian tindakan. Putih ibarat kesucian hati akan kesetiaan dan kejujuran untuk totalitas memperjuangkan nasib bangsa. Apapun sukunya, apapun agamanya, apapun warna kulitnya, apapun jabatannya, apapun pekerjaannya, apapun jenis kelaminnya, apapun partai politiknya, apapun organisasi massanya, semua adalah putra-putri bangsa yang memiliki merah putih, yang mewarisi anugerah kemerdekaan.


Maka apakah masih ada harapan bagi republik ini? Bukankah pada tanggal 17 Agustus 1945 yang lalu telah menjadi bukti bahwa harapan (untuk merdeka saja) ternyata bisa diwujudkan? Rakyat kecil sudah begitu tangguh bertahan hidup, sudah begitu rela menyerahkan kepercayaan untuk dikelola elit penguasa. Jangan sampai rakyat kecil ini meronta dan tersiksa, jangan sampai negeri ini kembali terkoyak oleh revolusi, sebab seringkali revolusi memangsa anak bangsanya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

para komentator dipersilakan masuk dan jangan lupa sertakan nama anda dibawah tulisan komen anda setelah selesai.makasi sebelumnya.

berikan komentar untuk tulisan di atas, klik icon 'komentar kamu' dan beri 'nilai.'


Kutipan para eksistensialis

  • “The Ego is partly free. partly determined, and reaches fuller freedom by approaching the Individual who is most free: God.” (Muhammad Iqbal)
  • “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Jean-Paul Sartre)
  • “Except our own thoughts, there is nothing absolutely in our power.” (Rene Descartes)
  • “Life has its own hidden forces which you can only discover by living.” (Soren Kierkegaard)
  • “Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.” (Sigmund Freud)