Tulisan ini merupakan lanjutan dari
jilid 1 dan 2, dan untuk kesekian kali penulis tidak bermaksud mengurui para
pembaca. Tulisan ini pun bukan sekedar khayalan atau fiksi imaginer namun hasil
telaah penulis terhadap pengalaman pribadi penulis sendiri. Peran aktif penulis
dalam berorganisasi ditingkat sekolah menengah dan tingkat atas, di lingkungan
kampus dan partisipasi dalam kegiatan masyarakat, sedikit banyak memberikan
inspirasi dalam penulisan 3 jilid risalah kepemimpinan ini. Penulis pernah
memiliki kesempatan belajar menjadi ketua, sekretaris, dan anggota dalam
struktur organisasi. Hasil dari pembelajaran tersebut, penulis coba terjemahkan
kedalam tulisan. Sehingga tidak hanya sebagai bahan pengingat dan acuan bagi
penulis pribadi, namun diharapkan pula menjadi bahan referensi sederhana kepada
rekan-rekan pembaca.
Risalah kepemimpinan jilid 3 ini
adalah rangkaian terakhir dari tulisan penulis mengenai risalah kepemimpinan.
Pada jilid terakhir ini, penulis coba mengulas perilaku berkepemimpinan kedalam
tiga tindakan (Three Act’s of Leader). Jilid 3 ini merupakan jilid implementasi
dari jilid sebelumnya, sehingga lebih mengacu kepada hal-hal yang bersifat
taktis. Berikut ini ulasannya:
1. Supportcircle with Opforline,
yaitu seorang pemimpin dalam melakukan tindakan taktis membutuhkan pengetahuan
mengenai lingkaran pendukung (supportcircle) dengan garis lawannya (opforline).
Sebelum bertindak, pemimpin sudah lebih dulu menghitung modal dan perangkat
yang dimiliki, siapa kawan dan pengikutnya yang memiliki loyalitas penuh
terhadap pribadi dan pemikirannya. Pemimpin yang berperilaku baik, tentu lebih
mudah dan lebih banyak memiliki lingkaran-lingkaran pendukung. Seperti apa
pemimpin yang baik itu, silakan baca kembali pada jilid 2 ditulisan sebelumnya.
Memilih dan menentukan anggota dalam lingkaran pendukung tidak mudah. Jika
komunikasi tidak optimal bisa mengakibatkan kecemburuan struktural organisasi.
Pemimpin harus bisa merajut lingkaran yang bersifat mutualis. Lingkaran tersebut
harus diberikan kesadaran akan kelebihan dan kekurangan individu masing-masing.
Lingkaran pendukung harus memiliki sifat terbuka dan kepercayaan antara
individunya. Jika ingin lingkaran kuat, pemimpin harus bisa menjadi teman dan
saudara bagi mereka, dan jangan pernah mengistimewakan salah satu dari yang
lain. Distribusikan tugas dan tanggung jawab yang merata dan jelas kepada
lingkaran pendukung. Untuk menunjang kesempurnaan peran lingkaran pendukung,
pemimpin harus memiliki garis lawan (opforline). Maksudnya, pemimpin harus bisa
menciptakan lawan diluar tubuh organisasi. Hal tersebut memiliki manfaat, agar
energi berpendar keluar, bukan saling jegal dan ambisi sempit untuk menjatuhkan
sesama rekan. Pemimpin harus menghadirkan sosok pesaing di luar struktur
organisasi, sebagai contoh, perusahaan/institusi/organisasi A, membentuk garis
lawan bersifat vis a vis (berhadapan) terhadap perusahaan/institusi/organisasi
B. Arti lawan disini dapat diartikan dalam hal persaingan daya kreatifitas,
persaingan mutu produk, atau persaingan fasilitas pelayanan.
2. Brightspace with Blackspot, yaitu
seorang pemimpin dalam bertindak taktis membutuhkan kedewasaan diri dalam
menunjukan ruang cerah (brightspace) dengan titik hitam (blackspot) dalam
organisasi. Dalam bertindak, seorang pemimpin harus menunjukan keyakinannya
bagi masa depan organisasi dan pengembangan masa depan individu didalamnya.
Sehingga dalam melakukan tugas dan tanggung jawab, anggota organisasi
bersemangat untuk kemajuan bersama. Jangan pernah menghalangi individu yang
maju dan berkembang, apalagi menganggapnya sebagai ancaman, justru mereka harus
didukung sebagai aset penting bagi organisasi. Pemimpin harus berani memberikan
insentif, bagi anggota organisasi yang berhasil melaksanakan tugas dan
kewajibannya. Sehingga sebelum tugas dilaksanakan, pemimpin harus membekali
anggotanya melalui briefing. Dalam briefing tersebut, bangunkan semangat para
anggota dan yakinkan bahwa tugas tersebut adalah untuk masa depan mereka,
jangan pernah mengambil kata-kata yang bersifat ancaman yang tertuju pada
individu. Tapi ambil ungkapan-ungkapan yang bernada blackspot (titik hitam).
Artinya apabila tugas mengalami kendala atau kegagalan itu ditujukan sebagai
kegagalan organisasi. Dengan demikian, setiap anggota organisasi akan berusaha
agar organisasinya tidak mengalami kegagalan, dan akan muncul rasa militansi
dalam memiliki organisasi. Kepercayaan yang diberikan tersebut, dengan
sendirinya, akan memunculkan individu sportif yg mengakui kesalahannya apabila
dia berbuat salah terhadap organisasi. Bagaimana bila pemimpinnya yang salah?
Silakan baca tulisan sebelumnya pada jilid 1 dari tulisan ini.
3. Playmaker with Kingmaker, yaitu
seorang pemimpin dalam setiap tindakan taktisnya tidak hanya berperan sebagai
pengatur permainan (playmaker) namun juga mendidik pengantinya (kingmaker)
setahap demi setahap. Kegiatan atau tugas yang dijalankan sebuah
institusi/organisasi tidak melulu ditangani langsung oleh seorang pemimpin
sebagai eksekutor/pelaksana. Pemimpin dapat berperan sebagai playmaker yang
tidak harus sebagai striker pencetak gol ke dalam gawang. Dia justru memberikan
umpan-umpan kepada para eksekutor lapangan. Mengarahkan pola-pola penyerangan,
bahkan mampu turut membantu lini pertahanan. Bahkan saat terjadi kebuntuan
serangan, playmaker dapat membuat terobosan baru untuk berusaha memenangkan
pertandingan. Terobosan baru dalam tindakan taktis merupakan suatu keniscayaan
bagi seorang pemimpin. Tentu saja tidak dengan cara-cara yang melanggar aturan
permainan. Peran pemimpin sebagai playmaker pun pada dasarnya memberikan
didikan/kaderisasi bagi kemajuan organisasi, khususnya bagi calon-calon
pengantinya di masa mendatang. Pemimpin harus bisa menjadi pengkader
(kingmaker), melalui proses bertahap dan bukan instan. Pemimpin harus jeli melihat
potensi-potensi yang kelak dapat mengantikan dirinya, maka pemimpin tidak boleh
kikir dengan ilmu dan ide-ide masa depannya. Pemimpin dalam hal taktis, harus
berani memberikan tugas dan tanggung jawab kepada orang pilihannya agar dapat
membuktikan kemampuan yang dimilikinya. Jangan terlalu banyak mendikte, biarkan
peserta kader melakukan kreatifitas dan inovasi baru dalam tugas-tugasnya.
Pemimpin hanya perlu membimbingnya agar setia pada jalur visi dan misi
organisasi.
Demikianlah tiga hal terkait tindakan
pemimpin dalam tulisan terakhir dari rankaian risalah kepemimpinan. Jika rekan
pembaca menganggap tulisan ini sekedar ambisi pribadi dari penulis, anggapan
tersebut boleh-boleh saja. Atau rekan pembaca memandang tulisan ini, terlalu
utopia karena pada kenyataannya apa yang tertulis tidak serta merta mudah
diimplementasikan ke dalam praktek lapangan. Pandangan itu pun boleh-boleh
saja. Sekali lagi penulis tekankan, bahwa tulisan ini bukan untuk mengurui,
tapi sebagai arsiparis pengalaman penulis selama aktif dalam organisasi.
Kalaupun tulisan ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan referensi bagi
rekan pembaca yang dalam posisi memimpin, penulis turut berharap semoga pembaca
dapat menjadi pemimpin yang baik. Karena penulis pun bagian dari masyarakat
kebanyakan yang merindukan munculnya sosok-sosok pemimpin yang baik, yang dapat
mengayomi dan memperjuangkan kebaikan bagi sesama.
(060812)