"Roma tidak dibangun dalam sehari. Langkah besar selalu diawali dengan tapak langkah kecil. Sebuah pemikiran dan cita-cita agung, kadang berasal dari sebuah kata atau impian sederhana. Kadang pula sebuah catatan, memiliki nilai berharga ketimbang monumen atau istana, dan setiap orang mampu untuk menciptakannya."

Minggu, 19 Juni 2011

MANUSIA SETENGAH DEWA

Patung dewi keadilan itu berdiri memegang neraca dengan mata tertutup. Sebuah simbol purba dari masa ke masa akan persamaan di hadapan hukum. Demi mencapai keteraturan hidup, perlindungan terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban, serta perolehan keadilan yang layak bagi setiap orang, maka hukum sebagai peraturan pun diciptakan. Supaya hukum bisa terselenggara, dibentuk pula beragam perangkat dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Namun peradaban manusia terus tumbuh, dan berkembang, melahirkan perilaku kompleks dalam sendi-sendi kehidupan manusia itu sendiri. Hukum yang muasalnya menjaga keteraturan pelaksanaan hak dan kewajiban, dalam perjalanannya dihadapkan dengan kekuasaan dan keserakahan. Hukum yang muasalnya ada untuk melindungi semua orang, dalam perjalanannya justru dimanfaatkan untuk melindungi sebagian orang. Sebut saja sebagian orang itu adalah elit penguasa atau kalangan borjuasi yang mengkhianati hukum karena melakukan pelanggaran aturan demi kepentingan pribadi atau golongan. Lebih menyedihkan lagi pelanggaran aturan dilakukan para perangkat hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan. Banyak dari mereka justru mengotori rumahnya sendiri dengan menjual hukum demi keserakahan.

Membaca hukum adalah membaca keadilan, menyuarakan hukum adalah menyuarakan keadilan, menegakkan hukum adalah menegakkan keadilan. Hukum adalah bentuk dari keadilan yang disusun dalam peraturan tertulis, atau marka yang bisa dilihat dengan kasat mata. Sehingga hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan, adalah hukum yang mati. Semisal, seseorang yang kelaparan melakukan pencurian makanan untuk hidup, dibandingkan dengan seorang kaya raya melakukan tindakan pencurian uang Negara untuk keserakahan, maka rasa keadilan harus ditimbang dalam penerapan hukum. Meski pola/jenisnya sama, yaitu pencurian, namun hukum yang memiliki rasa keadilan dapat menempatkan kedua perkara tersebut secara proporsional. Seseorang yang mencuri karena kelaparan tentu berbeda dengan seseorang yang mencuri karena keserakahan. Bahkan jika melihat substansi keadilan, seharusnya seseorang yg mencuri karena kelaparan, harus dibebaskan. Karena fungsi Negara untuk memberikan kehidupan yang layak, atau mengkondisikan kemudahan bagi rakyat untuk menafkahi diri, tidak berjalan dengan baik. Lain halnya dengan seseorang yang jelas-jelas mencuri uang Negara, harus menerima hukuman berat, karena telah mengkhianati dan melakukan pelecehan terhadap institusi Negara. Jika tidak memperoleh hukuman berat, maka Negara itu sendiri dianggap sebagai Negara pesakitan “Sicker’s State.” Tentunya akan memunculkan para monster bandit elit yang akan mengerogoti Negara, hingga Negara tidak lagi memiliki legitimasi dimata rakyat. Lantas apa guna institusi/organisasi Negara tanpa legitimasi dari rakyat sebagai anggotanya.

Fiat Justitia Ruat Caelum, keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh, hanya terdengar usang ditelingga para aparatur hukum dan elit penguasa. Kalau mereka tidak berani menegakkan hukum yang berkeadilan, lalu siapa yang akan melakukannya. Kalau mereka yang menciderai dan meruntuhkan bangunan hukum, lalu untuk apa ada institusi hukum. Kalau rakyat merasa keadilannya terancam, maka apa guna seorang penguasa yang dipilih untuk mengelola hidup rakyat. Maka seringkali keserakahan, mengkebiri prinsip demokrasi itu sendiri dan menjadikannya aristokrasi atau oligarki. Bagi para aparatur hukum dan elit penguasa yang masih memiliki nurani dan idealisme, mutlak bagi mereka menegakkan keadilan meski langit runtuh. Berani bertindak dan melakukan terobosan yang berarti. Mereka adalah pengelola Negara, mereka adalah milik Negara, milik rakyat. Maka mereka harus membela kepentingan Negara dan rakyat banyak, bukan membela kelompok, teman, saudara, atau bahkan keluarganya. Apa saja yang mereka kenakan, fasilitas apa saja yang mereka gunakan, bahkan gaji dan tunjangan yang mereka bawa pulang, muasalnya adalah keringat rakyat yang dikumpulkan dalam bentuk pajak. Maka sejatinya para aparat penegak hukum dan elit penguasa bekerja untuk melayani rakyat banyak. Apabila mereka tidak berani dan tidak lagi sanggup memberikan rasa keadilan dalam mengelola hukum, mereka harus mengundurkan diri dan melepas jabatan. Sebab tugas untuk membasmi para monster serakah yang mencuri uang Negara, bukan tugas bagi manusia biasa. Sebab tugas untuk menegakkan keadilan meski langit runtuh, bukan tugas bagi manusia lemah dan pengecut. Sebab tugas itu, hanya bagi mereka yang tangguh, terpercaya, dan bernurani. Sebab tugas itu hanya bagi mereka, manusia yang memiliki jiwa dan semangat setengah dewa.

190611

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

para komentator dipersilakan masuk dan jangan lupa sertakan nama anda dibawah tulisan komen anda setelah selesai.makasi sebelumnya.

berikan komentar untuk tulisan di atas, klik icon 'komentar kamu' dan beri 'nilai.'


Kutipan para eksistensialis

  • “The Ego is partly free. partly determined, and reaches fuller freedom by approaching the Individual who is most free: God.” (Muhammad Iqbal)
  • “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Jean-Paul Sartre)
  • “Except our own thoughts, there is nothing absolutely in our power.” (Rene Descartes)
  • “Life has its own hidden forces which you can only discover by living.” (Soren Kierkegaard)
  • “Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.” (Sigmund Freud)