Apakah masih tersisa harapan bagi negeri ironi seperti ini? Seakan mengurai benang kusut tanpa tahu ujung pangkalnya, atau seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bangsa besar diatas luas hamparan tanah kepulauan, berlimpahan kekayaan alam di permukaan hingga dasar bumi. Namun mengingkari cita-cita agung sebagaimana tertulis di alinea keempat pembukaan konstitusi. Melindungi segenap bangsa dan tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Karut marut selalu saja membayangi perjalanan republik gemah ripah loh jinawi, menjadi tabir bagi kontribusi putra putri bangsa. Mereka seharusnya memiliki integritas untuk memelihara kemerdekaan. Tetapi semua asyik tenggelam dalam kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan. Padahal itu semua sekedar sarana untuk didedikasikan bagi kemakmuran rakyat.
Bangsa ini terombang-ambing diatas gelombang zaman. Sentimen primordial muncul dalam bentuk konflik laten keagamaan. Lemah sudah kesadaran akan kebinekaan. Pluralitas harusnya menjadi modal kemajuan, namun dari situ konflik muncul melalui kauvinis-kauvinis lokal antar agama, antar organisasi, dan kelompok sosial. Kebenaran ditafsirkan masing-masing tanpa memperhatikan lagi nilai moral dan toleransi. Pertikaian dan perselisihan dipertontonkan. Ditambah lagi dengan kesenjangan ekonomi yang tak kunjung reda. Mulai dari sudut
Bukankah bangsa ini lahir dari beragam peradaban, bangsa ini lahir dari bermacam bentuk penjajahan, dan bangsa ini pernah memiliki putra-putri terbaik yang telah membawa negeri ini kedepan pintu gerbang kemerdekaan. Bangsa ini membutuhkan penguasa yang memiliki ketegasan untuk mengangkat kembali harga diri. Bangsa ini membutuhkan elit penguasa yang sanggup memanusiakan manusia. Ketika petani mudah memperoleh pupuk dan menjual gabah dengan harga memadai, ketika nelayan mudah memperoleh sarana mencari ikan, ketika pengusaha kecil mudah melakukan pinjaman modal, ketika prasarana sekolah menjadi layak bagi siswa-siswi, ketika pedagang tenang berjualan tanpa pungli, ketika ibu rumah tangga mudah dan murah membeli sembako, ketika pekerja pabrik layak terpenuhi upahnya, ketika tenaga kerja di luar negeri terlindungi hak dan keselamatannya, ketika rumah sakit tidak bersikap diskriminasi, ketika istana penguasa tidak angkuh dan antikritik, ketika gedung perwakilan ramah membuka tangan menerima aspirasi. Hal ini adalah tanggung jawab elit penguasa, harus diwujudkan secara utuh, tidak parsial, apalagi mengandalkan satu sama lain. Ini kerja bersama, bukankah slogan itu bunyinya ‘bersama kita bisa.’ Bukan dengan janji, bukan dengan lips-service atau politik pencitraan, bukan dengan seminar, lokakarya, atau wacana di media
Bukankah sejarah telah mencatat salah satu dari putra bangsa terbaik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Ia bernama Soekarno. Presiden pertama republik ini, tidak hanya memiliki karisma bagi para pendukungnya, namun disegani di
Negeri ini penuh dengan ironi. Republik pesakitan jadi bulan-bulanan kelinci percobaan kekuatan asing. Begitu lugunya di iming-iming program bantuan yang realitanya adalah hutang. Ketergantungan dengan dunia barat, sehingga mudah ditakut-takuti perginya investasi. Belum lagi perihal nilai dasar komunal, etika hidup ketimuran juga dihajar habis-habisan. Negeri ini telah kehilangan jati dirinya, jati diri merah putih. Merah putih sebagai panji yang harusnya selalu berkibar hati putra putri pertiwi. Merah ibarat darah yg mengalir sebagai tanda ikatan, sebagai bentuk ketegasan dan keberanian tindakan. Putih ibarat kesucian hati akan kesetiaan dan kejujuran untuk totalitas memperjuangkan nasib bangsa. Apapun sukunya, apapun agamanya, apapun warna kulitnya, apapun jabatannya, apapun pekerjaannya, apapun jenis kelaminnya, apapun partai politiknya, apapun organisasi massanya, semua adalah putra-putri bangsa yang memiliki merah putih, yang mewarisi anugerah kemerdekaan.
Maka apakah masih ada harapan bagi republik ini? Bukankah pada tanggal 17 Agustus 1945 yang lalu telah menjadi bukti bahwa harapan (untuk merdeka saja) ternyata bisa diwujudkan? Rakyat kecil sudah begitu tangguh bertahan hidup, sudah begitu rela menyerahkan kepercayaan untuk dikelola elit penguasa. Jangan sampai rakyat kecil ini meronta dan tersiksa, jangan sampai negeri ini kembali terkoyak oleh revolusi, sebab seringkali revolusi memangsa anak bangsanya sendiri.