Quotient dalam psikologi modern dipahami sebagai konsep penilaian secara kuantitatif perihal kejiwaan seseorang. Sehingga dalam perkembangannya dikenal istilah intelektual qoutient/IQ, emotional quotient/EQ, dan spiritual quotient/SQ. Bagi psikologi, metode penilaian tersebut adalah cara meng-obyektif-kan penelitian sebagai persyaratan ilmiah. Meski sisi intelektual seseorang memang bisa dinilai melalui lembar demi lembar soal, sisi emosi dan spiritual sebaliknya tidak serta merta dengan mudah bisa dinilai secara angka-angka.
Kepandaian dapat terlihat dari prestasi seseorang, perolehan nilai ujian, peningkatan nominal laba/keuntungan, atau juga peningkatan mutu/kwalitas produksi. Sedangkan emosional dan spiritual lebih sulit untuk dilihat melalui mekanisme deret hitung. Keduanya itu biasa nampak dalam perilaku, meski seringkali dalam perilaku pun tetap bisa dimanipulasi atau disembunyikan. Kemarahan seseorang bisa dibaca dari perilakunya merusak benda-benda, juga mengeluarkan kata-kata kotor dan sumpah serapah. Namun ada juga kemarahan seseorang justru diutarakan melalui sikap diam. Kegembiraan bisa dibaca melalui perilaku kegirangan, melompat-lompat, mengucap kata 'hore,' dan sebagainya. Namun ada kegembiraan yang hanya diucapkan melalui senyuman atau mata yang berkaca-kaca. Demikian pula dalam hal spiritualitas, kesalehan seseorang dapat disaksikan dari perilaku rajinnya melaksanakan ibadah ritual. Meski tidak mudah untuk diketahui apakah ibadah itu dilakukan semata-mata untuk Tuhan. Bahkan tidak jarang, agama dijadikan dalih untuk melalukan diskriminasi, perusakan, bahkan kepentingan negatif dari kekuasaan.
Dari ketiga bentuk quotient ini, boleh jadi satu atau dua diantaranya lebih mendominasi atau sebaliknya tidak mendominasi. Kepandaian bisa membahayakan atau merugikan tanpa kestabilan emosi/perasaan. Plutonium & uranium melalui proses pengayaan bisa menjadi tenaga nuklir, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk listrik atau senjata pemusnah masal. Perasaan/emosi pun bisa melahirkan bencana tanpa ilmu dan pengetahuan. Bukankah sikap chauvinisme & primordialisme memicu peperangan antar suku atau bangsa, saat salah satunya menganggap bahwa suku/bangsa-nya lebih unggul dari yang lain. Demikian pula spiritualitas yang kering tanpa keikhlasan, kesantunan, dan pemahaman agama yang mendalam akan memicu perseteruan/pertentangan di masyarakat.
Nobody is perfect, kiranya menarik apa yang Sir Winston Churchill pernah ucapkan. Intelektualitas, emosi, dan kemampuan spiritual dimiliki setiap orang, namun bagaimana ketiganya itu dapat berjalan seimbang dan beriring membutuhkan usaha dan kesungguhan. Bagaimana setiap orang kemudian mampu mengenali masalah, memahami, dan mengendalikannya menjadi hal positif dan membangun. Melatih diri menjadi lebih baik, adalah melatih diri yang tak sempurna itu menjadi bagian dari kesempurnaan.
Kepandaian dapat terlihat dari prestasi seseorang, perolehan nilai ujian, peningkatan nominal laba/keuntungan, atau juga peningkatan mutu/kwalitas produksi. Sedangkan emosional dan spiritual lebih sulit untuk dilihat melalui mekanisme deret hitung. Keduanya itu biasa nampak dalam perilaku, meski seringkali dalam perilaku pun tetap bisa dimanipulasi atau disembunyikan. Kemarahan seseorang bisa dibaca dari perilakunya merusak benda-benda, juga mengeluarkan kata-kata kotor dan sumpah serapah. Namun ada juga kemarahan seseorang justru diutarakan melalui sikap diam. Kegembiraan bisa dibaca melalui perilaku kegirangan, melompat-lompat, mengucap kata 'hore,' dan sebagainya. Namun ada kegembiraan yang hanya diucapkan melalui senyuman atau mata yang berkaca-kaca. Demikian pula dalam hal spiritualitas, kesalehan seseorang dapat disaksikan dari perilaku rajinnya melaksanakan ibadah ritual. Meski tidak mudah untuk diketahui apakah ibadah itu dilakukan semata-mata untuk Tuhan. Bahkan tidak jarang, agama dijadikan dalih untuk melalukan diskriminasi, perusakan, bahkan kepentingan negatif dari kekuasaan.
Dari ketiga bentuk quotient ini, boleh jadi satu atau dua diantaranya lebih mendominasi atau sebaliknya tidak mendominasi. Kepandaian bisa membahayakan atau merugikan tanpa kestabilan emosi/perasaan. Plutonium & uranium melalui proses pengayaan bisa menjadi tenaga nuklir, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk listrik atau senjata pemusnah masal. Perasaan/emosi pun bisa melahirkan bencana tanpa ilmu dan pengetahuan. Bukankah sikap chauvinisme & primordialisme memicu peperangan antar suku atau bangsa, saat salah satunya menganggap bahwa suku/bangsa-nya lebih unggul dari yang lain. Demikian pula spiritualitas yang kering tanpa keikhlasan, kesantunan, dan pemahaman agama yang mendalam akan memicu perseteruan/pertentangan di masyarakat.
Nobody is perfect, kiranya menarik apa yang Sir Winston Churchill pernah ucapkan. Intelektualitas, emosi, dan kemampuan spiritual dimiliki setiap orang, namun bagaimana ketiganya itu dapat berjalan seimbang dan beriring membutuhkan usaha dan kesungguhan. Bagaimana setiap orang kemudian mampu mengenali masalah, memahami, dan mengendalikannya menjadi hal positif dan membangun. Melatih diri menjadi lebih baik, adalah melatih diri yang tak sempurna itu menjadi bagian dari kesempurnaan.
(090509)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
para komentator dipersilakan masuk dan jangan lupa sertakan nama anda dibawah tulisan komen anda setelah selesai.makasi sebelumnya.