"Roma tidak dibangun dalam sehari. Langkah besar selalu diawali dengan tapak langkah kecil. Sebuah pemikiran dan cita-cita agung, kadang berasal dari sebuah kata atau impian sederhana. Kadang pula sebuah catatan, memiliki nilai berharga ketimbang monumen atau istana, dan setiap orang mampu untuk menciptakannya."

Minggu, 31 Mei 2009

It was born on 1 JUNE 1945

Dihadapan Sidang BPUPK(I) tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan pemikirannya mengenai dasar dan falsafah negara. Pidato beliau itu selanjutnya dikenal sebagai PANCASILA yang merupakan ideologi, falsafah, dasar negara, dan jati diri bangsa Indonesia. Beberapa kutipan dari pidato beliau, antara lain...

"Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:

1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa."
.......
"Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a S i l a. Sila artinya azas atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi."


Kutipan tersebut dapat ditemui salah satunya dalam Buku Risalah BPUPK(I), dan mungkin banyak orang yang belum membacanya.

Sebagai bangsa yang besar dan berdaulat, ideologi sangat penting artinya dalam menanamkan jati diri bangsa, jati diri setiap manusia Indonesia. Begitu tajam dan derasnya arus lalu lintas budaya datang dari penjuru dunia, kadang melenakan dan membuat lupa akan jati diri manusia Indonesia. Menapikkan bahwa sekian lamanya bangsa ini merasakan perihnya penjajahan, merasakan pahitnya berjuang memperoleh kemerdekaan, mengorbankan jiwa dan raga.
Detik ini patutlah kiranya setiap pribadi manusia Indonesia merajuk sejenak pada falsafah negara, yakni PANCASILA. Hingga manusia Indonesia menjadi benar-benar merdeka pada tanah airnya, memiliki kedaulatan, memiliki harga diri. Bukan jadi bangsa kuli, bukan jadi bangsa konsumeristis, bukan jadi bangsa pengecut, bukan jadi bangsa yang melupakan jasa-jasa pahlawan, bukan jadi bangsa yang didikte bangsa lain, bukan jadi bangsa berhutang, bukan jadi bangsa korup, bukan jadi bangsa bertikai, bukan jadi bangsa bodoh, miskin, dan melarat. Sebab...

Bangsa ini adalah bangsa Indonesia, bangsa besar yang berhasil lepas dari kolonialisasi Belanda, Inggris, ataupun Jepang.
Bangsa ini adalah bangsa pejuang, dan ia terlalu tangguh untuk ditaklukkan zaman.


(010609)

Sabtu, 09 Mei 2009

NOBODY IS PERFECT

Quotient dalam psikologi modern dipahami sebagai konsep penilaian secara kuantitatif perihal kejiwaan seseorang. Sehingga dalam perkembangannya dikenal istilah intelektual qoutient/IQ, emotional quotient/EQ, dan spiritual quotient/SQ. Bagi psikologi, metode penilaian tersebut adalah cara meng-obyektif-kan penelitian sebagai persyaratan ilmiah. Meski sisi intelektual seseorang memang bisa dinilai melalui lembar demi lembar soal, sisi emosi dan spiritual sebaliknya tidak serta merta dengan mudah bisa dinilai secara angka-angka.

Kepandaian dapat terlihat dari prestasi seseorang, perolehan nilai ujian, peningkatan nominal laba/keuntungan, atau juga peningkatan mutu/kwalitas produksi. Sedangkan emosional dan spiritual lebih sulit untuk dilihat melalui mekanisme deret hitung. Keduanya itu biasa nampak dalam perilaku, meski seringkali dalam perilaku pun tetap bisa dimanipulasi atau disembunyikan. Kemarahan seseorang bisa dibaca dari perilakunya merusak benda-benda, juga mengeluarkan kata-kata kotor dan sumpah serapah. Namun ada juga kemarahan seseorang justru diutarakan melalui sikap diam. Kegembiraan bisa dibaca melalui perilaku kegirangan, melompat-lompat, mengucap kata 'hore,' dan sebagainya. Namun ada kegembiraan yang hanya diucapkan melalui senyuman atau mata yang berkaca-kaca. Demikian pula dalam hal spiritualitas, kesalehan seseorang dapat disaksikan dari perilaku rajinnya melaksanakan ibadah ritual. Meski tidak mudah untuk diketahui apakah ibadah itu dilakukan semata-mata untuk Tuhan. Bahkan tidak jarang, agama dijadikan dalih untuk melalukan diskriminasi, perusakan, bahkan kepentingan negatif dari kekuasaan.

Dari ketiga bentuk quotient ini, boleh jadi satu atau dua diantaranya lebih mendominasi atau sebaliknya tidak mendominasi. Kepandaian bisa membahayakan atau merugikan tanpa kestabilan emosi/perasaan. Plutonium & uranium melalui proses pengayaan bisa menjadi tenaga nuklir, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk listrik atau senjata pemusnah masal. Perasaan/emosi pun bisa melahirkan bencana tanpa ilmu dan pengetahuan. Bukankah sikap chauvinisme & primordialisme memicu peperangan antar suku atau bangsa, saat salah satunya menganggap bahwa suku/bangsa-nya lebih unggul dari yang lain. Demikian pula spiritualitas yang kering tanpa keikhlasan, kesantunan, dan pemahaman agama yang mendalam akan memicu perseteruan/pertentangan di masyarakat.

Nobody is perfect, kiranya menarik apa yang Sir Winston Churchill pernah ucapkan. Intelektualitas, emosi, dan kemampuan spiritual dimiliki setiap orang, namun bagaimana ketiganya itu dapat berjalan seimbang dan beriring membutuhkan usaha dan kesungguhan. Bagaimana setiap orang kemudian mampu mengenali masalah, memahami, dan mengendalikannya menjadi hal positif dan membangun. Melatih diri menjadi lebih baik, adalah melatih diri yang tak sempurna itu menjadi bagian dari kesempurnaan.

(090509)

berikan komentar untuk tulisan di atas, klik icon 'komentar kamu' dan beri 'nilai.'


Kutipan para eksistensialis

  • “The Ego is partly free. partly determined, and reaches fuller freedom by approaching the Individual who is most free: God.” (Muhammad Iqbal)
  • “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Jean-Paul Sartre)
  • “Except our own thoughts, there is nothing absolutely in our power.” (Rene Descartes)
  • “Life has its own hidden forces which you can only discover by living.” (Soren Kierkegaard)
  • “Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.” (Sigmund Freud)