"Roma tidak dibangun dalam sehari. Langkah besar selalu diawali dengan tapak langkah kecil. Sebuah pemikiran dan cita-cita agung, kadang berasal dari sebuah kata atau impian sederhana. Kadang pula sebuah catatan, memiliki nilai berharga ketimbang monumen atau istana, dan setiap orang mampu untuk menciptakannya."

Minggu, 05 Desember 2010

BUKAN KOLONIALIS

Berapa banyak perusahaan di Jakarta menunggak pembayaran pajak setiap tahunnya? Para pengusaha kaya begitu nyaman berkantor di gedung-gedung tinggi, saat siang menjelang mereka makan direstoran dengan diantar sebuah sedan mewah. Berapa banyak papan reklame berdiri ditepi jalan ibu kota dan belum menyelesaikan kewajiban pajak retribusi atas izin pemasangannya? Berapa banyak hotel, tempat hiburan malam, swalayan, lahan parkir, yang juga menjadi obyek pajak pemerintah kota Jakarta setiap tahunnya? Apakah kesemuanya sudah secara maksimal diterima pemerintah, dan apakah pemerintah Jakarta cukup tegas menindak para pengusaha ‘nakal’ karena seringkali lari dari kewajiban membayar pajak? Sehingga teramat lucu, menggelikan, bahkan menyedihkan jika pemerintah Jakarta merencanakan akan mengenakan wajib pajak bagi pengusaha kecil warung makan/warteg.

Keinginan pemerintah Jakarta untuk memberlakukan pajak 10% bagi warung makan dengan omzet 5 juta per bulan itu, memberikan kesan kurang pekanya pemerintah kepada ruang hidup (lebensraum) sosial masyarakat Jakarta pada masa ini. Padahal warung makan/warteg turut menghidupi kebutuhan makan para karyawan perusahaan. Maka apakah pemerintah Jakarta sudah memperhatikan kebersihan lingkungan mereka, dengan dinas kebersihan kota? Apakah pemerintah juga sudah memperhatikan keamanan lingkungan mereka dari pungli para preman? Lantas kalau pun pajak 10% itu diberlakukan, apakah pemerintah bisa memenuhi kewajibannya atas perlindungan dan keamanan? Berapa banyak personil pemerintah kota bisa dikerahkan untuk melindungi hak warung makan/warteg diseluruh kota Jakarta? Apakah pemerintah kota siap menampung banyak pengaduan/keluhan apabila hak-hak kebersihan, perlindungan, dan keamanan warung makan/warteg itu tidak terpenuhi? Ini semua menjadi perkara lucu, menggelikan, bahkan menyedihkan. Permasalahan banjir, permasalahan kemacetan saja sudah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, belum juga dapat terselesaikan, malahan ingin menambah masalah baru. Begitu banyak pertanyaan terlontar, bahkan begitu banyak pula prasangka buruk bagi kinerja pemerintah. Hal itu muncul karena sikap pemerintah kota sendiri yg kurang banyak berkomunikasi dengan warganya. Kurang peka terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat kecil. Pemerintah kota selama ini terkesan tebang pilih dan seringkali mengunakan perilaku “belah bambu”, yaitu menginjak yg bawah, dan mengangkat yg atas. Kurang tegas kepada para pengusaha besar, sebaliknya sering menyengsarakan pengusaha kecil. Sehingga terkadang atas alasan pengembangan bisnis, seringkali terjadi penyimpangan akan penggunaan lahan tata kota yg semestinya tidak boleh didirikan bangunan diatasnya. Sementara Satpol PP dengan beringasnya membersihkan tepi trotoar jalan dari pedagang kaki lima. Bukankah itu bukti nyata dari sikap tebang pilih dan perilaku belah bambu pemerintah kota?

Kesan negatif seperti itu pun, hadir kembali dengan adanya rencana pemerintah kota Jakarta untuk memberlakukan pajak bagi warung makan/warteg. Sepertinya pemerintah kota sedang mencari pemasukan baru dengan cara lebih mudah. Pemerintah bisa leluasa menekan para pengusaha kecil, tentu saja hal itu menjadi bukti kelemahan pemerintah kota. Dinas perpajakan kota Jakarta sepertinya lemah dan kurang tegas menuntut para pengusaha besar untuk membayar kewajiban pajak mereka. Lebih menyedihkan lagi apabila pemerintah Jakarta sudah dicemari mafia-mafia perpajakan, sehingga untuk kesekian kalinya masyarakat kecil menjadi korban pemerasan para elit penguasa. Sumber pendapatan kota Jakarta dari sektor pajak, harusnya banyak dipenuhi dari para pengusaha besar dan kaya, bukan dari para pengusaha kecil. Logikanya, pemerintah kota sepatutnya memberikan bantuan pengembangan usaha dan perlindungan keamanan bagi para pengusaha kecil, bukan sebaliknya malahan menjadikan mereka obyek pemerasan gaya baru atas nama “pungutan pajak.”

Pemerintah daerah kota Jakarta adalah penguasa kota dengan kewajiban membina dan melindungi warga/masyarakat kota. Pemerintah bukanlah penjajah dengan pekerjaan mengumpulkan upeti dari daerah vassal dengan cara mengancam dan menindas. Kota Jakarta/Batavia memang pernah dikuasai pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun bukan berarti pada masa ini pola pemikiran kolonialis itu berlaku kembali. Pemerintah kota Jakarta harus memiliki jiwa nasionalis, lebih berpihak kepada masyarakat, kepada pengusaha kecil. Pemerintah kota harus memberi ruang hidup (lebensraum) bagi mereka, lebih peka mencermati kehidupan perekonomian para pengusaha kecil. Para pengusaha yang telah terbukti mampu bertahan hidup saat krisis ekonomi pernah melanda negeri ini.

(061210)

berikan komentar untuk tulisan di atas, klik icon 'komentar kamu' dan beri 'nilai.'


Kutipan para eksistensialis

  • “The Ego is partly free. partly determined, and reaches fuller freedom by approaching the Individual who is most free: God.” (Muhammad Iqbal)
  • “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Jean-Paul Sartre)
  • “Except our own thoughts, there is nothing absolutely in our power.” (Rene Descartes)
  • “Life has its own hidden forces which you can only discover by living.” (Soren Kierkegaard)
  • “Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.” (Sigmund Freud)