"Roma tidak dibangun dalam sehari. Langkah besar selalu diawali dengan tapak langkah kecil. Sebuah pemikiran dan cita-cita agung, kadang berasal dari sebuah kata atau impian sederhana. Kadang pula sebuah catatan, memiliki nilai berharga ketimbang monumen atau istana, dan setiap orang mampu untuk menciptakannya."

Minggu, 25 Juli 2010

MACET

Jakarta adalah kota besar penuh hiruk pikuk, tak pernah berhenti dari beragam aktifitas penghuninya. Pagi, siang, sore, malam, sampai pagi lagi, jalan-jalan arteri selalu saja penuh lalu-lalang kendaraan. Mobil angkutan, mobil pribadi, juga sepeda motor, terus saja memenuhi ruas jalan, bahkan bertambah jumlah setiap harinya. Tidak heran jika ‘macet’ menjadi sebuah keniscayaan bagi ibu kota Negara Indonesia ini. Penambahan dan pelebaran ruas jalan tidak mampu memberi solusi kepadatan lalu lintas di kota ini. Pun konon kabarnya, pengadaan transportasi massal Transjakarta (busway) sebagai salah satu penanggulanggan kemacetan, justru memicu masalah baru. Terang saja, sebab peruntukan jalan bagi Transjakarta malahan menyita lahan jalan yang biasa digunakan kendaraan pribadi serta umum lainnya.


Kemacetan selalu dikeluhkan pengguna jalan, bukan hanya mereka yang tinggal di Jakarta, namun juga para komuter dari luar kota. Sudah pasti masalah ini menjadi perhatian utama pemerintah kota. Sayangnya, belum ada metode jitu untuk lepas dari problematika klasik ini. Penerapan ketentuan three in one (7.00--10.00 dan 16.30--19.00), pembangunan busway Transjakarta, belum menunjukan dampak berarti, apalagi blueprint tentang monorail atau subway (kereta bawah tanah) begitu jauh dari harapan. Hal tersebut bahkan akan merombak tata kota, membongkar jalur fly-over, under-pass, lahan/jalur hijau pepohonan jalan, juga jalur kabel serat optik dalam tanah.


Ada beberapa alternatif lain untuk mengatasi macet. Akhir-akhir ini seringkali televisi menayangkan sebuah dialog bagaimana cara mengatasi kemacetan. Antara lain dengan membenahi sarana angkutan umum/angkutan kota (angkot). Bagaimana mengelola angkot supaya nyaman dan menjadi pilihan transportasi banyak orang. Lainnya adalah bagaimana membatasi kepemilikan kendaraan pribadi, seperti mobil misalnya. Begitu pelik, memang. Disatu sisi, pemerintah kota cenderung menuding bahwa kemacetan terkait dengan pengelolaan angkutan umum. Namun disisi lain, masalah pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi kurang diperhatikan pemerintah. Mari berpikir secara radikal. Jika boleh menganalisa secara empiris, manakah lebih banyak memenuhi jalan raya. Angkutan umum atau kendaraan pribadi. Kemudian, manakah lebih tua usia kendaraan di jalan, kendaraan umum-kah atau kendaraan pribadi. Tidak perlu terburu-buru bicara statistik, secara kasat mata saja, bukankah semua orang bisa memperhatikan. Penghuni jalan di Jakarta kebanyakan adalah kendaraan pribadi, yaitu mobil dan sepeda motor. Bukti lain mengapa kendaraan umum pertambahan jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding kendaraan pribadi, karena angkot tua masih banyak beroperasi. Artinya, pengelola angkot masih mempergunakan angkot-angkot lama layak pakai dengan alasan meminimalisir biaya produksi. Sementara itu setiap hari mungkin hitungan jam, konsumsi permintaan kendaraan pribadi terus menerus bertambah. Terlebih dengan adanya kredit ringan bagi konsumen, sehingga mudah sekali memperoleh kendaraan bermotor.


Hal lain yang menarik dicermati, secara tidak langsung pemerintah kota (dalam statemen-nya disebuah stasiun televisi) menunjukan asumsi bahwa jika angkutan umum dikelola baik dan nyaman, maka banyak pengguna kendaraan pribadi akan pindah ke angkutan umum. Asumsi ini, sepertinya ingin mencoba menjustifikasi bahwa alasan orang memiliki kendaraan secara pribadi karena tidak memadainya angkutan umum sebagai sarana transportasi. Asumsi tersebut ada benarnya, namun ada sudut pandang lain yang penting juga diperhatikan, yaitu prsikologi massa. Prestise psikologis orang kota, adalah psikologi massa yang jarang diperhatikan. Kemungkinan besar belum ada penelitian lebih lanjut tentang psikologi ini. Orang kota, kebanyakan adalah kelas menengah, berpenghasilan tetap, sehingga sebuah prestise bila mereka memiliki kendaraan pribadi. Semacam tingkat aktualisasi diri, sebagaimana Maslow mengemukakan dalam Piramida Maslow. Sehingga, senyaman apa pun angkutan umum nantinya, prestise orang kota untuk memiliki kendaraan pribadi akan tetap ada. Hal ini berhubungan dengan psikologi massa orang kota/kelas menengah di negara berkembang seperti Indonesia. Kecuali di negara maju seperti negara-negara eropa, prestise psikologis tersebut bukan lagi tertuju pada materi/kepemilikan pribadi namun lebih pada keahlian, pendidikan, dan profesionalitas. Itu-lah salah satu bentuk aktualisasi diri bagi orang kota di negara-negara maju.


Apabila kepemilikan kendaraan pribadi merupakan bentuk dari aktualisasi diri orang kota, senyaman apapun pengelolaan angkutan umum, sekali lagi tidak dapat dijadikan pengalih agar orang kota menggunakan angkot. Sehingga pemerintah harus tegas untuk membatasi kepemilikan kendaraan pribadi sebagai salah satu cara mengatasi kemacetan. Pembatasan ini bisa dilakukan melalui one house one car, satu rumah satu mobil. Syarat kepemilikan bukan hanya atas dasar kartu identitas/KTP tapi juga harus berdasarkan kartu keluarga/KK sehingga jelas batas kepemilikan kendaraannya. Pemerintah kota juga harus berani membatasi pasokan kendaraan pribadi bagi dealer-dealer kendaraan di Jakarta. Barulah kemudian, dibuat ketentuan dan petunjuk jelas bagi syarat kelayakan kenyamanan angkutan umum. Apabila pengelola angkot tidak mematuhi, pemerintah harus tegas memberi sanksi pencabutan izin trayek. Satu hal lagi, untuk mengatasi kemacetan, pemerintah dapat membuat peraturan bagi perusahaan swasta di Jakarta yang memiliki banyak karyawan. Pengusaha harus menyediakan kendaraan jemputan bagi karyawan. Konsekwensinya, pemerintah kota harus memberikan insentif pengurangan jumlah pajak perusahaan tersebut, selisihnya dapat dimanfaatkan untuk alokasi dana perawatan kendaraan jemputan. Pemerintah kota harus berani melakukan terobosan baru, demi untuk kelancaran produktifitas pekerja Jakarta. Mobilitas pekerja mempengaruhi kinerja perusahaan. Semakin maju perusahaan maka semakin besar pajak disetor ke pemerintah kota. Secara tidak langsung pekerja Jakarta adalah aset pendapatan kota. Sehingga kewajiban penyediaan kendaraan jemputan adalah alasan logis sebagai bagian solusi mengurangi kemacetan di Jakarta.


Pada dasarnya kemacetan di Jakarta bukan karena masalah ruas jalan atau jumlah kendaraan, namun bisa jadi yang macet adalah ketegasan akan tindakan pemerintah kota Jakarta sendiri.

(260701)

berikan komentar untuk tulisan di atas, klik icon 'komentar kamu' dan beri 'nilai.'


Kutipan para eksistensialis

  • “The Ego is partly free. partly determined, and reaches fuller freedom by approaching the Individual who is most free: God.” (Muhammad Iqbal)
  • “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Jean-Paul Sartre)
  • “Except our own thoughts, there is nothing absolutely in our power.” (Rene Descartes)
  • “Life has its own hidden forces which you can only discover by living.” (Soren Kierkegaard)
  • “Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.” (Sigmund Freud)