"Roma tidak dibangun dalam sehari. Langkah besar selalu diawali dengan tapak langkah kecil. Sebuah pemikiran dan cita-cita agung, kadang berasal dari sebuah kata atau impian sederhana. Kadang pula sebuah catatan, memiliki nilai berharga ketimbang monumen atau istana, dan setiap orang mampu untuk menciptakannya."

Senin, 31 Mei 2010

1 Juni, 22 Juni, atau 18 Agustus 1945?

Pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPK(I) merupakan cikal bakal dari dasar negara, yang juga disebut beliau sebagai Pancasila. Bukan hanya Soekarno saja, namun founding fahters lainnya seperti Mr. Moh. Yamin dan Prof. Dr. Soepomo mengemukakan gagasan tentang dasar negara. Sidang I BPUPK(I) berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Pada tanggal 29 Mei, Mr. Moh. Yamin mengemukakan dasar negara yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Sementara Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 mengemukakan pikiran dalam pidatonya mengenai dasar negara, yaitu Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan Lahir & Batin, Musyawarah, dan Keadilan Rakyat. Barulah kemudian keesokkan harinya tanggal 1 Juni Ir. Soekarno mengemukakan lima dasar yaitu, Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme/Peri Kemanusiaan, Mufakat/Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ir. Soekarno menyebut kelima dasar itu sebagai Pancasila. Maka dengan kata lain istilah Pancasila, secara originalitas berasal dari Ir. Soekarno.

BPUPK(I) pada saat itu bersidang 2 kali. Pertama tanggal 28 Mei--1 Juni 1945, dan kedua tanggal 10--16 Juli 1945. Pada saat reses menuju sidang yang kedua, kesembilan orang founding fathers yaitu, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Moh. Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdul Kahar Mudzakkir, Wachid Hasjim, Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosoejoso, merumuskan dasar negara yang akan dikemukakan nanti pada sidang kedua BPUPK(I). Dengan kesepakatan bulat kesembilan founding fathers memberi nama rumusan dasar negara itu sebagai Piagam Jakarta/Jakarta Charter. Isinya adalah:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. (menurut) dasar kemanusian yang adil dan beradab;
3. persatuan Indonesia;
4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan dasar negara yang diberi nama Piagam Jakarta itu selanjutnya dimasukkan kedalam draft pembukaan UUD negara. Pada tanggal 16 Juli 1945, Ketua Sidang dr. Radjiman Widyodiningrat menutup sidang dengan suara bulat dari peserta sidang untuk menerima draft rumusan dasar negara dan UUD tersebut. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnyatanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan draft dasar negara termasuk UUD menjadi Konstitusi Negara/UUD Negara Republik Indonesia. Namun dalam dasar negara terdapat perubahan dari yang telah disepakati sebelumnya. Wakil-wakil dari timur Indonesia (Latuharhary, Dr. Sam ratulangi, I Gusti Ketut Pudja) meminta agar 7 kata pada pasal 1 dari Piagam Jakarta yang saat itu mereka anggap mengandung unsur ketersinggungan antara Islam dan nonIslam, dihapuskan saja. Terjadilah lobi antara Moh. Hatta, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Wachid Hasjim (NU), dan Teuku Moh. Hassan. Pada akhirnya kalangan Islam menerima penghapusan 7 kata tersebut dengan alasan UUD harus segera ditetapkan agar Negara Republik segera berdaulat. Selain itu para founding fathers dari kalangan Islam menyakini bahwa UUD tersebut dapat diperbaiki kemudian saat MPR/Majelis Permusyawaratan Rakyat nanti terbentuk. Melalui MPR dikemudian hari para wakil-wakil dari kalangan Islam dapat memperjuangkan kembali gagasan-gagasan Islam dalam konstitusi.

Beberapa tahun kemudian setelah Pemilu 1955 selesai dilangsungkan, konsep Piagam Jakarta kembali lagi diperjuangkan melalui Dewan Konstituante/Dewan pembuat UUD. Namun hal tersebut belum lagi terwujud, sudah tereliminir dengan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden Soekarno dalam dekritnya menyatakan untuk kembali kepada UUD 1945, hasil ketetapan tanggal 18 Agustus 1945 sebelumnya.

Pertanyaannya adalah apakah Pancasila itu lahir pada tanggal 1 Juni 1945, 22 Juni 1945, ataukah 18 Agustus 1945?

Istilah "pancasila" memang lahir pada tanggal 1 Juni 1945, namun isinya tidak seperti apa yang ada saat ini dalam pembukaan UUD. Bukan pula seperti isi dari Piagam Jakarta. Isi pasal-pasal dalam Pancasila hingga saat ini adalah tetap sebagaimana hasil dari ketetapan founding fathers tanggal 18 Agustus 1945, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan;
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sebagai anak bangsa, memahami kembali proses panjang mendirikan negara yang berdaulat adalah suatu keharusan. Begitu pluralitasnya Bangsa Indonesia, bukan hanya suku dan agama, namun ideologi pun mengalami perseteruan yang panjang dan melelahkan. Setiap orang atau setiap kalangan pada dasarnya bebas menganut ideologi apa pun, namun dalam sebuah negara kepentingan rakyat adalah lebih utama apalagi dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Bukankah para founding fathers dari beragam ideologi itu telah duduk bersama dalam mendirikan negara ini. Maka anak bangsa pun dapat duduk bersama dalam menyikapi segala perbedaan, hanya demi menjaga persatuan dan kedaulatan Republik ini.

(010610 menyempurnakan tulisan terdahulu it was born on 1 June 1945)

berikan komentar untuk tulisan di atas, klik icon 'komentar kamu' dan beri 'nilai.'


Kutipan para eksistensialis

  • “The Ego is partly free. partly determined, and reaches fuller freedom by approaching the Individual who is most free: God.” (Muhammad Iqbal)
  • “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Jean-Paul Sartre)
  • “Except our own thoughts, there is nothing absolutely in our power.” (Rene Descartes)
  • “Life has its own hidden forces which you can only discover by living.” (Soren Kierkegaard)
  • “Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.” (Sigmund Freud)