"Roma tidak dibangun dalam sehari. Langkah besar selalu diawali dengan tapak langkah kecil. Sebuah pemikiran dan cita-cita agung, kadang berasal dari sebuah kata atau impian sederhana. Kadang pula sebuah catatan, memiliki nilai berharga ketimbang monumen atau istana, dan setiap orang mampu untuk menciptakannya."

Senin, 08 April 2013

Weaknes and Strong Leadership


Sahabat pembaca yang bijaksana, izinkan saya menyajikan kembali tulisan mengenai kepemimpinan. Kesekian kalinya saya tidak ingin mengurui sahabat pembaca, karena saya tidak lebih pandai dan berpengalaman dari sahabat pembaca. Saya sekedar menyajikan pemikiran saya sebagai hasil dari pembelajaran saya di lingkungan, dimana saya belajar dan bekerja. Tulisan saya kali ini mencermati mengenai kepemimpinan yang lemah dan kepemimpinan yang kuat. Tentu saja kepemimpinan sesuai versi dan pemahaman saya. Apabila sahabat pembaca merasakan hal yang sama sebagaimana yang saya tulis, semoga menjadi modal bagi tujuan kebaikan yang sahabat pembaca ingin lakukan di lingkungan sahabat berada, tentunya demi kebaikan banyak orang.


Terlebih dahulu, saya ingin membahas mengenai kepemimpinan yang lemah. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang pemimpin ialah mereka yang memiliki kekuasaan untuk mengatur orang lain. Kekuasaan itu bisa berupa jabatan/kekuatan, bisa juga kepandaian/kebijaksanaan, dalam istilah kaum machiavellian ialah virtue and vitality. Namun pada kenyataannya banyak pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang lemah. Kekuasaan yang dimiliki pemimpin yang lemah adalah kekuasaan palsu (fake of power) karena orang-orang yang dipimpin merasakan keterpaksaan melakukan perintah dibawah hierarki jabatannya. Selanjutnya, apa ciri-ciri kepemimpinan yang lemah itu? Mari kita bahas di sini. Ciri-ciri kepemimpinan yang lemah, antara lain:

1. Anti-kritik, kepemimpinan yang lemah sulit menerima masukan, nasihat, atau aspirasi dari orang lain. Kepemimpinannya angkuh dan merasa dirinya benar dalam kekeliruan sikap dan tutur katanya, itu sangat berbahaya. Apalagi meremehkan orang lain atau istilahnya under-estimate, padahal bisa jadi hikmah/kebenaran itu datang dari mulut seekor anjing, kalo saya boleh mengutip mutiara kata tersebut, dari khazanah keislaman Imam Ali bin Abi Thalib. Artinya bahwa kepemimpinan yang lemah, selalu menutup telinganya untuk mendengar suara dari arus bawah, sudah menutup matanya dari geliat ketidakpuasan para pengikutnya, dan sudah menutup akal sehat bahkan nuraninya dari keresahan karena ketidakadilan yang diakibatkan dari kepemimpinannya. Meski seolah-olah si pemimpin mendengar, melihat, dan merasa, namun hanya sekedar kebohongan semata, alih-alih semacam serigala berbulu domba, mengerikan dan sadis. 
2. Hipokrit, kepemimpinan yang lemah seringkali menjajakan kemunafikan. Lain dimulut, lain dihati, bahkan senang mengadu domba, juga tidak jarang mencari kambing hitam. Jika dalam kisah pewayangan dalam budaya jawa, sikap tersebut mirip seperti, tokoh Patih Sengkuni. Kepemimpinan yang memiliki sikap hipokrit, senang mengumbar kata-kata indah untuk menghipnotis orang lain. Kemampuan verbalnya mampu melakukan probing, serta rayuan yang bisa membius seseorang untuk setuju, mengakui, apa yang diinginkannya. Namun apa yang di utarakan itu jauh dari sikap dan perbuatannya, hanya sebatas lip-service. Meminta orang lain mentaati aturan, namun dirinya justru sering menyepelekan aturan, bahkan melanggar aturan. Kegemarannya mengadu domba pun menjadi alat baginya untuk menikam orang lain tanpa harus memegang pisau dengan tangannya sendiri. Sepintas sikap ini memang terkesan cerdik, namun ibarat karat memakan besi, kepemimpinannya lemah dan rapuh. Sebab apabila domba yang di adunya itu semua berkumpul dan bersekutu, maka kepemimpinannya sudah tidak lagi memiliki arti. 
3. Individualistik, merupakan sikap kepemimpinan yang lemah karena merasa dirinya paling tahu segala hal, paling pandai, dan kompeten, sehingga enggan mengakui prestasi orang lain. Bahkan tidak segan-segan memanfaatkan dan mengeksploitasi orang lain, hanya untuk kepentingannya sendiri, lantas melangkah begitu saja tanpa berterima kasih karena takut dianggap berhutang budi. Setiap tujuan yang hendak dicapai dalam kepemimpinannya pada dasarnya hanya untuk keserakahan dan ambisi pribadi. Tidak mempedulikan jerih payah orang lain, tidak memberikan apresiasi yang layak, bahkan tanpa disadari melakukan bahasa sarkasme yang menyinggung perasaan orang disekitarnya. Sikap ini sangat melemahkan, karena tidak saja menimbulkan sikap kontra/permusuhan dari para koleganya, namun juga menciptakan ‘api dalam sekam’ diantara orang-orang dalam kepemimpinannya. Artinya kepemimpinan seperti ini terpenjara dari luar maupun dari dalam, rentan perpecahan, dan tentu saja membuat organisasi sakit dan lemah.
Inilah tiga hal yang menjadi ciri kepemimpinan yang lemah, saya percaya sahabat pembaca tidak mudah sepakat dengan apa yang saya tulis. Namun sahabat yang bijaksana bisa melakukan analisa sendiri, bahkan melakukan komparasi terhadap apa yang sahabat lihat dan rasakan dilingkungan masing-masing. Untuk melengkapi ciri kepemimpinan yang lemah tersebut, saya pun memiliki ciri kepemimpinan yang kuat sebagai antitesa dari kepemimpinan yang lemah tadi. Disamping itu, saya ingin membagi harapan, bahwa hal-hal baik selalu memiliki ruang ditengah-tengah kezaliman dan kesewenang-wenangan. Setiap orang bisa mewujudkannya, terlebih bagi sahabat pembaca yang diberi amanah untuk menjadi seorang pemimpin. Adapun ciri-ciri kepemimpinan yang kuat, yaitu:
1. Aspiratif, sebagai sikap terbuka terhadap masukan dan kritik serta peduli terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Mengutamakan keadilan tanpa sungkan atau takut terhadap keputusan yang diambilnya, demi memperbaiki pola kepemimpinannya. 
2. Trusty/Terpercaya, sebagai nilai etis dan moral utama yang membuatnya dirinya diikuti tanpa keterpaksaan. Apa yg diucapkannya, sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Menjadi contoh teladan tanpa harus mengumbar kata-kata manis, atau kata-kata sindiran kepada orang yang dipimpinnya. Bahkan sanggup membangun kepercayaan diri kepada orang yang dipimpinnya atas dasar profesionalitas, bukan atas dasar gaya kepemimpinan feodalistik. 
3. Guyub/gemeinscaft, jika boleh mengambil istilah tersebut dari sosiolog Jerman, Ferdinand Tonnies. Akur secara bersama menjaga kolektifitas kelompok atas dasar kepedulian sangat penting bagi Kepemimpinan yang kuat. Kemampuan menjaga hubungan baik dengan para koleganya sangat penting. Menjaga sportifitas dan memberikan penghargaan bagi prestasi orang lain akan menambah rasa hormat terhadap kepemimpinannya, dan tentu saja akan mudah memperoleh bantuan dari kolega lain. Demikian pula kepada orang-orang yang dipimpinnya, dengan sikap guyub, kepemimpinan menjadi kokoh secara internal, karena semua individu di dalamnya saling gotong royong, menjadi penyokong bagi yang lain, tidak ada diskriminasi, anak emas atau anak tiri, semuanya menyatu dan saling bahu membahu.
Sahabat pembaca yang setia pada niat baik, demikian ciri-ciri kepemimpinan yang dapat saya sampaikan, sahabat pembaca boleh setuju, boleh juga tidak, bagi saya tulisan ini adalah pandu bagi saya untuk terus belajar menjadi pribadi yang baik, dan semoga juga bermanfaat bagi sahabat pembaca semua.
(090413)

berikan komentar untuk tulisan di atas, klik icon 'komentar kamu' dan beri 'nilai.'


Kutipan para eksistensialis

  • “The Ego is partly free. partly determined, and reaches fuller freedom by approaching the Individual who is most free: God.” (Muhammad Iqbal)
  • “Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Jean-Paul Sartre)
  • “Except our own thoughts, there is nothing absolutely in our power.” (Rene Descartes)
  • “Life has its own hidden forces which you can only discover by living.” (Soren Kierkegaard)
  • “Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.” (Sigmund Freud)