Sahabat
pembaca yang bijaksana, izinkan saya menyajikan kembali tulisan mengenai
kepemimpinan. Kesekian kalinya saya tidak ingin mengurui sahabat pembaca,
karena saya tidak lebih pandai dan berpengalaman dari sahabat pembaca. Saya
sekedar menyajikan pemikiran saya sebagai hasil dari pembelajaran saya di
lingkungan, dimana saya belajar dan bekerja. Tulisan saya kali ini mencermati
mengenai kepemimpinan yang lemah dan kepemimpinan yang kuat. Tentu saja
kepemimpinan sesuai versi dan pemahaman saya. Apabila sahabat pembaca merasakan
hal yang sama sebagaimana yang saya tulis, semoga menjadi modal bagi tujuan
kebaikan yang sahabat pembaca ingin lakukan di lingkungan sahabat berada, tentunya
demi kebaikan banyak orang.
Terlebih
dahulu, saya ingin membahas mengenai kepemimpinan yang lemah. Sebagaimana kita ketahui
bahwa seorang pemimpin ialah mereka yang memiliki kekuasaan untuk mengatur
orang lain. Kekuasaan itu bisa berupa jabatan/kekuatan, bisa juga
kepandaian/kebijaksanaan, dalam istilah kaum machiavellian ialah virtue and vitality. Namun pada
kenyataannya banyak pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang lemah. Kekuasaan
yang dimiliki pemimpin yang lemah adalah kekuasaan palsu (fake of power) karena orang-orang yang dipimpin merasakan
keterpaksaan melakukan perintah dibawah hierarki jabatannya. Selanjutnya, apa
ciri-ciri kepemimpinan yang lemah itu? Mari kita bahas di sini. Ciri-ciri
kepemimpinan yang lemah, antara lain:
1. Anti-kritik, kepemimpinan yang lemah sulit
menerima masukan, nasihat, atau aspirasi dari orang lain. Kepemimpinannya
angkuh dan merasa dirinya benar dalam kekeliruan sikap dan tutur katanya, itu
sangat berbahaya. Apalagi meremehkan orang lain atau istilahnya under-estimate, padahal bisa jadi hikmah/kebenaran
itu datang dari mulut seekor anjing, kalo saya boleh mengutip mutiara kata
tersebut, dari khazanah keislaman Imam Ali bin Abi Thalib. Artinya bahwa kepemimpinan
yang lemah, selalu menutup telinganya untuk mendengar suara dari arus bawah,
sudah menutup matanya dari geliat ketidakpuasan para pengikutnya, dan sudah
menutup akal sehat bahkan nuraninya dari keresahan karena ketidakadilan yang
diakibatkan dari kepemimpinannya. Meski seolah-olah si pemimpin mendengar,
melihat, dan merasa, namun hanya sekedar kebohongan semata, alih-alih semacam
serigala berbulu domba, mengerikan dan sadis.
2. Hipokrit, kepemimpinan yang lemah seringkali
menjajakan kemunafikan. Lain dimulut, lain dihati, bahkan senang mengadu domba,
juga tidak jarang mencari kambing hitam. Jika dalam kisah pewayangan dalam
budaya jawa, sikap tersebut mirip seperti, tokoh Patih Sengkuni. Kepemimpinan
yang memiliki sikap hipokrit, senang mengumbar kata-kata indah untuk
menghipnotis orang lain. Kemampuan verbalnya mampu melakukan probing, serta rayuan
yang bisa membius seseorang untuk setuju, mengakui, apa yang diinginkannya.
Namun apa yang di utarakan itu jauh dari sikap dan perbuatannya, hanya sebatas lip-service. Meminta orang lain mentaati
aturan, namun dirinya justru sering menyepelekan aturan, bahkan melanggar aturan.
Kegemarannya mengadu domba pun menjadi alat baginya untuk menikam orang lain
tanpa harus memegang pisau dengan tangannya sendiri. Sepintas sikap ini memang
terkesan cerdik, namun ibarat karat memakan besi, kepemimpinannya lemah dan
rapuh. Sebab apabila domba yang di adunya itu semua berkumpul dan bersekutu,
maka kepemimpinannya sudah tidak lagi memiliki arti.
3. Individualistik, merupakan sikap kepemimpinan
yang lemah karena merasa dirinya paling tahu segala hal, paling pandai, dan
kompeten, sehingga enggan mengakui prestasi orang lain. Bahkan tidak
segan-segan memanfaatkan dan mengeksploitasi orang lain, hanya untuk
kepentingannya sendiri, lantas melangkah begitu saja tanpa berterima kasih
karena takut dianggap berhutang budi. Setiap tujuan yang hendak dicapai dalam
kepemimpinannya pada dasarnya hanya untuk keserakahan dan ambisi pribadi. Tidak
mempedulikan jerih payah orang lain, tidak memberikan apresiasi yang layak,
bahkan tanpa disadari melakukan bahasa sarkasme yang menyinggung perasaan orang
disekitarnya. Sikap ini sangat melemahkan, karena tidak saja menimbulkan sikap
kontra/permusuhan dari para koleganya, namun juga menciptakan ‘api dalam sekam’
diantara orang-orang dalam kepemimpinannya. Artinya kepemimpinan seperti ini
terpenjara dari luar maupun dari dalam, rentan perpecahan, dan tentu saja
membuat organisasi sakit dan lemah.
Inilah tiga
hal yang menjadi ciri kepemimpinan yang lemah, saya percaya sahabat pembaca
tidak mudah sepakat dengan apa yang saya tulis. Namun sahabat yang bijaksana
bisa melakukan analisa sendiri, bahkan melakukan komparasi terhadap apa yang
sahabat lihat dan rasakan dilingkungan masing-masing. Untuk melengkapi ciri
kepemimpinan yang lemah tersebut, saya pun memiliki ciri kepemimpinan yang kuat
sebagai antitesa dari kepemimpinan yang lemah tadi. Disamping itu, saya ingin
membagi harapan, bahwa hal-hal baik selalu memiliki ruang ditengah-tengah
kezaliman dan kesewenang-wenangan. Setiap orang bisa mewujudkannya, terlebih bagi
sahabat pembaca yang diberi amanah untuk menjadi seorang pemimpin. Adapun ciri-ciri
kepemimpinan yang kuat, yaitu:
1. Aspiratif, sebagai sikap terbuka terhadap
masukan dan kritik serta peduli terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Mengutamakan keadilan tanpa sungkan atau takut terhadap keputusan yang
diambilnya, demi memperbaiki pola kepemimpinannya.
2. Trusty/Terpercaya,
sebagai nilai etis dan moral utama yang membuatnya dirinya diikuti tanpa
keterpaksaan. Apa yg diucapkannya, sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Menjadi
contoh teladan tanpa harus mengumbar kata-kata manis, atau kata-kata sindiran
kepada orang yang dipimpinnya. Bahkan sanggup membangun kepercayaan diri kepada
orang yang dipimpinnya atas dasar profesionalitas, bukan atas dasar gaya kepemimpinan
feodalistik.
3. Guyub/gemeinscaft,
jika boleh mengambil istilah tersebut dari sosiolog Jerman, Ferdinand Tonnies.
Akur secara bersama menjaga kolektifitas kelompok atas dasar kepedulian sangat
penting bagi Kepemimpinan yang kuat. Kemampuan menjaga hubungan baik dengan para
koleganya sangat penting. Menjaga sportifitas dan memberikan penghargaan bagi
prestasi orang lain akan menambah rasa hormat terhadap kepemimpinannya, dan
tentu saja akan mudah memperoleh bantuan dari kolega lain. Demikian pula kepada
orang-orang yang dipimpinnya, dengan sikap guyub, kepemimpinan menjadi kokoh
secara internal, karena semua individu di dalamnya saling gotong royong,
menjadi penyokong bagi yang lain, tidak ada diskriminasi, anak emas atau anak
tiri, semuanya menyatu dan saling bahu membahu.
Sahabat
pembaca yang setia pada niat baik, demikian ciri-ciri kepemimpinan yang dapat
saya sampaikan, sahabat pembaca boleh setuju, boleh juga tidak, bagi saya
tulisan ini adalah pandu bagi saya untuk terus belajar menjadi pribadi yang
baik, dan semoga juga bermanfaat bagi sahabat pembaca semua.
(090413)